Notifikasi di handphone saya sudah lebih sering. Baik chat maupun video call. Bukan dengan pacar tapi dengan adik saya. Dalam satu minggu ini, hampir tiap hari dia mengabari kesehariannya menempati kamar kos yang baru. Bulan-bulan sebelumnya dia tinggal dengan keluarga sepupu saya, Imel Ndana. Saya senang dia mengabari dengan detail. Bagaimana kamarnya, apa saja yang dibeli dan tentang dia yang belajar masak.
Dia mengeluhkan bahwa dia tidak bisa memasak sayur. Tentu saja langsung kami soraki, masak itu survival kit yang harus dikuasai tiap orang hidup. Jadi pasti bisa, lama-lama akan terbiasa.
Mendengar cerita dan melihatnya beranjak dewasa sungguh sebuah kebanggaan. Dari cara berbicaranya yang cadel menyebut nama saya lalu sekarang dia harus ngekos dan mengatur waktu sendiri. Biarpun dia setinggi apa, tetap saya punya adik yang lucu dan menggemaskan (dulunya).
Satu hal yang bikin saya harus terbiasa adalah mendengarnya "curhat". Saya senang sih bisa mendengar namun kadang kapasitas saya untuk mendengar agak kurang baik. Lalu saya akan menjudge ini itu ke dia dan itu bukanlah sesuatu yang baik. Untunglah kakaknya Wig juga dicurhati soal perkuliahan sehingga saya tidak ikut kepikiran juga. Saya lebih suka dicurhati soal uang yang menipis atau tidak bisa masak. Kenapa? karena saya bisa kasih solusi. Kalau yang soal dosen atau perkuliahan rasanya saya malas karena tidak bisa saya kontrol. Namun perlu saya ingat bahwa kadang teman atau saudara curhat hanya untuk didengarkan.
Dari pengalaman ini, saya berkaca. Apakah curhatan saya menjadi beban untuk orang lain? Apakah curhatan saya menambah permasalahan hidup? Saya jadi makin hati-hati, takut menambah beban hidup orang lain karena permasalahan sendiri. Mungkin ada baiknya bertanya dahulu.
Ada banyak hal ke depan soal perkuliahan, pertemanan dan tentu saja pengaturan keuangan. Belum buku-buku atau pulsa data, dosen yang begini dan begitu. Selamat menempuh kehidupan baru, meski suasana perkuliahan belum sepenuhnya secara luring.
No comments:
Post a Comment